Ketika tubuh lelah, respon alamiahnya adalah untuk mengantuk dan tidur. Namun manusia adalah tuan akan takdirnya sendiri, bagaimana sebaiknya Ia merespon instingnya tersebut?
Aku bisa tumbang di sofa begitu saja setelah tiba dirumah, dengan seragam lengkap. Namun apakah itu pantas disebut istirahat? Apakah istirahat yang diperoleh dari lelap secara ugal-ugalan itu berkualitas?
Atau aku bisa melawan insting itu sedikit lebih lama, cukup lama untuk membersihkan diri, mengganti pakaian yang kukenakan dengan sesuatu yang lebih longgar dan santai, dan menumbangkan diri di kasur kamar berpendingin yang gelap gulita untuk memaksimalkan ekskresi melatonin dalam tubuh yang memulihkan sel-sel.
Ada komitmen yang harus menjadi rempah utama dalam setiap aksi-aksi yang kita maknai, dan sudah sepantasnya kita mensyukuri hidup dengan memaknai setiap langkah dan aksi yang kita ambil.
Istirahat tidak bisa setengah-setengah, ketika letih lelah dan ada kesempatan untuk istirahat total, sebijaknya dimaksimalkan. Jangan sampai takluk akan insting, nafsu untuk segera tidur dimana pun, namun untuk tetap mengejar kualitas, sebagaimana dalam segala bidang kehidupan.
2 tahun ku hidup menjalani hari dengan tenaga cadangan dan adrenalin kekurangan tidur, hanya untuk sampai pada kesimpulan yang selalu ada di depan mata.
Kesempurnaan selalu dikejar dalam pengkaryaan seni, namun seharusnya tidak luput juga untuk mengejarnya di nilai akademis, pula juga segala sisi kehidupan. Tidur, makan, hiburan, segala-galanya.
No comments:
Post a Comment