Aku sedang merasakan kekosongan, kehampaan arti, hilangnya makna hidup. Aku makan dari rumah lewat GoFood, aku tidak menghadiri kelas sama sekali, aku tidak mengerjakan tugas rumah apapun, berantakan yang aku perbuat dirumah yang baru saja ditinggalkan keluargaku sepulang lebaran satu hari yang lalu aku biarkan, dan jika aku tidak berhati-hati sepertinya akan menumpuk seperti kejadian yang sudah-sudah.
Sosial media ku tidak berisik, aku sedang tidak berbicara dengan siapapun, sejak pagi aku bangun. Alam bawah sadarku mungkin haus akan interaksi, mungkin itu yang menyebabkan sensasi kekosongan ini, namun kesadaran logisku tidak merasa terburu-buru untuk mencari pelepas dahaga ini.
Kamarku masih berantakan, sama berantakannya selama beberapa bulan terakhir. Ruang tengah masih berantakan, sama seperti setahun terakhir. Bungkus mobil masih terjemur kering di samping ruang tengah, belum membungkus mobil di garasi. Semut masih merayap di kasur dan dinding kamarku, seperti 2 minggu terakhir.
Berbagai pendapat saling bertabrakan di dalam kepalaku. Untuk apa memiliki harta benda sebanyak ini jika aku tidak bisa merawatnya? Namun harta benda ini juga lah tanggung jawab pemiliknya untuk dirawat. Jika tidak bisa bertanggung jawab, kita harus menyatakannya agar amanah itu bisa diemban orang lain. Namun jika kita diamanahkan untuk bertanggung jawab, kita harus memenuhi panggilan itu dengan benar-benar menjalankannya. Namun kedua pernyataan itu saling bertentangan, yang mana sesungguhnya hal yang benar? Hal yang tepat untuk dilakukan, yang mana?
Aku beranjak dari kasur, tempat selimut, bantal, guling, dan komputerku berada, untuk bermain PS di ruang tengah. Di sofa ada selimut kotor yang sudah berdebu karena terlalu lama mangkir disana, sehingga aku harus duduk di lantai, menggunakan sajadah yang sudah jarang aku gunakan sebagai alas. Begitu usai konsol itu menghiburku, aku beranjak ke meja makan yang dipenuhi semut karena aku meninggalkan gelas hampir kosong yang tersisa sedikit manisan sirup di dasarnya, aku ketuk gelas itu selama hampir satu menit mengusir semut-semutnya sebelum aku pindahkan ke wastafel cucian untuk ku rendam air, kemudian menyemprot pembasmi serangga ke barisan-barisan semut itu diatas meja makan.
Selesai, itu sudah semua yang aku lakukan sejak pagi hingga sore. Hanya itu yang terjadi. Aku bisa menjelaskan bagaimana sepanjang pagi sebelum beranjak dari kasur aku bermain Fruit Ninja Classic dimana aku baru saja memperoleh jenis pedang baru bernama "King Dragon" yang menggantikan manggis dengan buah naga instan +50 poin, atau bagaimana aku di meja makan menonton 2 episode "Fate:UBW Abridged" yang sangat menghibur karena dialog-dialognya yang cerdas dan sarat akan sejarah karakter dan ceritanya secara luas lewat tersirat ketimbang serial aslinya.
Namun hal-hal itu tidak penting dalam lingkup kehidupanku yang lebih luas dari sekedar kepuasan sesaat. Kekosongan hatiku ada karena suatu ketidakpuasan dalam hidupku, rumahku yang berantakan selama ini masih belum dibereskan karena ada sesuatu dalam diriku yang belum bisa aku selesaikan, kesempurnaan ibadahku masih belum kukejar karena ada sesuatu yang salah dalam diriku.
Bagaimana bisa, aku menuntaskan segunung masalah yang menggerogoti hidupku? Aku ingin merasa sedih, namun sedih karena apa? Aku ingin rajin, mulai darimana?
Biasanya aku akan menulis renungan-renungan ini di buku harian, agar tak ada seorangpun yang bisa membacanya. Namun, kepedulianku terhadap segala hal sedang redup. Fondasi tatanan hidupku sedang meranggas, buku harianku masih dalam ranselku yang tidak aku tertarik untuk buka, meja belajarku berantakan dan masih belum ingin ku dekati untuk mulai bereskan, komputerku untuk bisa kugunakan harus tidur bersamaku diatas kasur bahkan saat tidur pun terasa sesak karena ruang gerak selama tidurku yang semakin sempit karena harus berbagi.
Tirai kamarku tertutup sepanjang hari karena aku lebih suka bermandikan gelap, aku tidak suka mandi bahkan meskipun ada pemanas air. Aku sungguh tak tahu diri, tak bisa bersyukur, selalu merasa kurang, aku tahu orang-orang yang dapat menghargai kemewahan ini lebih dariku, aku tahu. Namun hal itu tidak berdampak pada perasaanku terhadap hal-hal yang sudah aku punya, hubungan sebab-akibatnya terlalu jauh. Bahkan jika aku menemukan alasan yang logis untuk mulai menghargai apa yang kupunya saat ini, apakah aku bisa?
Kenapa aku menulis? ...
Apa yang aku tulis? Perasaanku dan pengalamanku.
Kenapa aku menulisnya? Untuk mengekspresikan ketidakpuasanku terhadap diriku sendiri dan hidup yang saat ini sedang kujalani.
Kemudian? Aku melihat berbagai logical fallacy dalam pernyataan-pernyataanku yang bisa dipatahkan dengan beberapa kalimat pendek, seharusnya begitu mudah untuk memutarbalikkan segalanya.
Namun? Perasaan tidak selalu sejalur dengan logika, aku bisa sedih karena lapar, namun terlalu sedih untuk makan, dan kedua hal itu saling berkontradiksi meskipun mereka dapat saling menyelesaikan satu sama lain.
Dan apa kesimpulan yang diperoleh? Bahwa perasaan bisa berbohong, terjebak dalam mental space yang buruk bisa berbahaya karena mengabaikan logika yang kejam nan dingin namun solutif tidak akan bisa menyelesaikan apapun.
Jadi langkah apa yang paling tepat untuk dilaksanakan setelah memperoleh kesimpulan ini? Untuk beranjak dan mulai memperbaiki satu per satu dari segala yang masih salah dalam hidupku.
Namun? Kita tahu kita tidak akan melakukan itu, kita hanya akan menekan tombol "Unggah postingan" kemudian menepuk punggung kita seraya mengucap "mental exercise yang bagus", lalu membuka Youtube untuk mendengar lagu seraya membuka Twitter di ponsel untuk doomscrolling, terus menerus menghindari sumber masalah.
Jadi apa solusinya? No stones shall be left unturned, jika kita benar-benar ingin memperbaiki hidup kita, kita harus ambil langkah pertama, dan langkah pertama adalah langkah paling berat dan sulit.
Hal seperti apa yang akan jadi langkah pertamamu? *your story begins here*
No comments:
Post a Comment